Selasa, 31 Maret 2009

hey

kutiupkan dari paru-ku satu rindu

kusampaikan dalam diam mendalam padamu,

kawan.

Jumat, 27 Maret 2009

ilalang beton

Ribuan binatang besi lewat. Tanda bahwa keserakahan akan berdiri di sekitarnya. Benar saja, tak perlu saya beruban menantinya. Ilalang menjulang, berlomba menggapai langit. Di bawah sana manusia ber-tayamum karbon knalpot. Mata mereka berlafaz "rupiah". Terserak berteriak mengiba. Demi sengkarut kepalsuan yang jelas-jelas menipu.

Inilah peradaban. Tanda bahwa logika berada di pucuk-pucuk kemajuan. Menjuntai seiring ilalang. Bergoyang seirama zaman.

dilacurkanlah harga diri
tak lagi ada pertanyaan tentang Tuhan

trilogi oknum

Pertama kita saksikan mereka menceracau entah apalah itu. Larilah dari kenyataan bahwa merekalah di balik itu semua. Kebenaran memanglah berinduk fakta, hanya saja sejarah tergenggam oleh sang penguasa. Sebutlah ia Soekarno, tercabut linggis supersemar. Kebenaran berubah pertanyaan berjilid.

Kedua kudengar lagi rusuh Jakarta. Rupiah bikin gara-gara. Busuk itu menyengat kembali, nyawa-nyawa menguap, dibantai juga para Cina. Berdirilah mereka mahasiswa. Di Senayan mereka berkuasa. Bikin bingung penidur di dewan. Kebenaran terus mencari jatidiri.

Terakhir kudengar mereka ribut lagi. Kali ini samar-samar kudengar mereka bikin onar. Buang kentut sembunyi pantat, ha, mereka beraksi. Lembar-lembar duit menutup mata batin. Buai-buai celoteh dahulu mereka lupa. Beberapa mereka masih menimbang dosa. Toh, sang penguasa berkata, mereka hanya oknum.

Kamis, 26 Maret 2009

anak seksolah

Ini kami, kami perkenalkan kami. Kami tidak memfotokopi, lebih pantas mengidolai yang di tivi. Kami tak peduli akan malu, yang kami cari hanya mau. Mau mau nafsu. Kami sedang mencari, dan tidak ingin diberi hati. Kami bisa melakukan sendiri.

Berbekal sekuku ilmu, sebutir logika, dan sedikit olesan agama yang hampir pudar kami keluar dari rumah. Kami hampiri semua lekuk jalan. Kami sapa tiap teman fana. Setelah matahari tersengal muncul bulan dengan bugar. Kami masih sama, hanya mengidolai. Cuma mengikuti. Ada riuh rendah disana, kami cepat menyusul, saat ramai pindah disini kami kembali.

Kini olesan agama hilang sama sekali. Mau mengalahkan malu. Logika terpatahkan cinta. Ilmu terdiam kelu. Telah kami bentang tubuh di atas bejat pria. Terserah padanya.
Lalu kami menangis, meratap seonggok seragam di pojok kamar.

heroikisitas tol

Saatnya sang kaya raya berjalan. Melenggang. Tak mau dia lihat ingus rakyat. Terlupakan olehnya rintih para jelata. Mana aku mau berdampingan mereka, bau!, katanya sombong. Wow, lihatlah betapa gagahnya kota ini. Terbahaklah ia bersama sesama bangsat...

lalu singkat kata
berderulah eskavator
usir mereka si empunya harga diri
acuhkan isak-isak ibunya
bakar mereka
gebuk para pembela
ratakan gubuknya
keraskan dengan jutaan kantung semen
tuangkan aspal panas di atas mereka

Sekali lagi keangkuhan membuktikan keberadaannya
Tol telah melilit kota
sang kaya raya melenggang tenang



Lupakan rakyat di bawah sana!

di ufuk tanahku

anak pinak moyang tumbuh
cepatpun jeda ayam berkokok
sampai dalam senyapnya
sadarlah, bahwa tanahku telah berubah

apa itu sekarang dendang
mungkin anak pinak moyang tak kenal
lalu terus diikuti evolusi lidah,mungkin
mereka lebih mengenal pizza

rasa tergusur kembali menyergap
tak sendiri kuratap tanahku
ada ribuan terusir ke pinggir
terus terenung setiap petak
telah kucoba untuk menjawab
semua kutatap, di ufuk tanahku

Rabu, 25 Maret 2009

ratap senja

tak pastilah dia itu
apa mengigil atau tersengal
masih beberapa wejangan ia tuntunkan pada mereka
orang yang tercinta
dia sang perkasa saat muda

lalu bertanyalah kepada istrinya : Apa aku telah menjadi suami yang baik?Apa saja yang telah kuberikan padamu?
hening..
tersedu istri menjawab : lihat, kau memberiku tiga orang anak yang kucintai,rumah sebesar ini jugalah tanda cintamu...

berlanjut bertanyalah kepada anaknya : Apa aku seorang ayah yang baik?Apa saja yang telah kuberikan pada kalian?
diam..
terbata sang sulung menjawab : ya ayah, lihatlah aku sukses, kau memberiku pendidikan tertinggi..

lalu bertanyalah ia pada diri sendiri : hai aku, Apakah aku seorang yang baik?apa saja yang telah kuberikan padamu?
dalam heningnya sang tua menjawab terbata : ya Aku orang yang baik tapi Aku tidak memberi Aku bekal apapun untuk matiku...